Rabu, 27 Februari 2013

Bidadari Hati


Semua wanita akan selalu mendambakan pernikahan sakral.
Pesta dengan bermacam hidangan dan panggung meriah di iringi musik syahdu. 


Tamu berdatangan dengan pakaiannya yang indah.
Ucapan selamat dan doa.
Pasangan pengantin dengan penampilannya yang anggun mempesona.
Duduk megah berdampingan layaknya raja dan ratu sehari,
Sungguh membahagiakan.
Itulah yang menjadi harapan setiap wanita.

Tapi itu tidak terjadi padaku.
Angan akan melewati saat-saat pernikahan seperti itu hanyalah sekedar mimpi tak berwujud.
Cinta buta telah membawaku terpuruk pada kenyataan pahit.
Hamil di luar nikah!
Memalukan tapi itulah kenyataan pahit yang harus aku terima akibat nafsu tak mampu menahan diri.
Untungnya Alam, lelaki yang menghamiliku, adalah lelaki bertanggung jawab.
Walau tanpa restu kedua orang tua, kami menikah. Hanya disaksikan pamannya, akhirnya kami menikah dengan selamatan seadanya.
Dihadiri teman-teman dan paman suamiku.
Kami berdua tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nama baik kami. Karenanya dengan terpaksa kami harus lewati semua peristiwa ini dengan sangat menyesal.

Setelah menikah dengan bermodalkan sedikit tabungan, kami berdua mengontrak rumah kecil dan memulai hidup baru. Aku sungguh bersyukur karena Alam sangat mencintaiku dan dengan penuh tanggung jawab selalu berusaha untuk membahagiakanku.
Yah, dia memang suami yang baik. Lemah lembut bertanggung jawab dan sangat mengasihiku.
Cinta yang kami miliki berdua membuat kami mampu bertahan menghadapi segala cobaan dan penderitaan hidup.

Bulan berlalu kini usia kehamilanku memasuki bulan ke-4, aku yang berusaha menjadi istri yang baik selalu melayani semua kebutuhan Alam. Aku lakukan semua kewajiban rumah tangga sebagai istri yang solehah dengan penuh ikhlas dan bahagia. Akupun tak pernah meninggalkan sholat dan memohon ampun atas segala dosa yang kuperbuat. Hanya Allah satu-satunya tempat mengadu. Aku percaya pasti ada hikmah di balik semua peristiwa yang kami alami.
Suatu malam karena kelelahan mengurusi rutinitas rumah membuatku tertidur. 


Aku tak menyadari kepulangan Alam secara diam-diam dari tempat kerjanya. 


Tanpa membuat aku terbangun, perlahan membersihkan diri, makan, sholat dan berbaring di sampingku.
Kebiasaan suamiku sebelum tidur selalu mengajak bayi di dalam kandunganku berbicara dan bercanda. 


Biasanya dimulai dengan membaca solawat Nabi Muhammad dengan lantunan indah sambil sesekali diselingi canda penuh kasih. Alam percaya jika bayi sejak dalam kandungan selalu dibisikkan kalimat baik maka kelak akan menjadi anak yang baik pula.


 Itu yang selalu Alam katakan padaku.


Malam itupun dia juga melakukan seperti biasanya hanya bedanya kini Alam tidak membisikkannya kepada bayiku, tapi dibisikkannya kalimat penuh kasih di telingaku,
"Tidurlah bidadari cantikku, maafkan aku yang telah membuatmu dan bayi kita menderita. 


Aku belum mampu memberikan yang lebih baik untuk kalian berdua.


 Ya Allah berikan kebahagiaan untuk kami. 


Panjangkan umurku agar aku mampu membahagiaan bidadariku. 


Sungguh aku tersiksa melihat kelelahan yang menyelimuti wajah cantiknya."
Tetesan airmatanya membasahi pipi membuat aku tersadar dari lelap.
Tak mampu lagi kumenahan airmataku Kupeluk suamiku itu tanpa kata-kata. Kami pun melewati malam dengan penuh kasih sayang. Tak henti-hentinya kuucapkan, "Terima kasih ya Allah, walau hidup pas-pasan aku bahagia karena Kau memberikan aku pendamping yang soleh, baik, penyejuk hatiku di saat sedih. Mampu menyemangati hidupku ketika semua keluarga meninggalkan aku.
Berikan aku ketabahan untuk melewati semua cobaan-Mu.”

Alam yang baik selalu saja memberikan kejutan-kejutan kecil yang membuat aku bahagia. Suatu pagi ketika aku membereskan pakaian untuk di cuci kutemukan amplop berisikan cincin kecil dan secarik kertas yang bertuliskan, "Hon, bingkisan kecil ini aku beli dengan rezeki halal dibumbui dengan ketulusan cinta khusus buat bidadari hatiku.
Eits jangan dulu dipakai jangan lupa membaca Bismillah dulu sayangku, agar rezekinya barokah. Love you Hon."
Subhanallah,
Alhamdulillah,
Tak henti aku menangis haru dengan semua cinta yang diberikannya untuk membahagiakanku.
Ya Allah titip suamiku,
Lindungilah ia selalu ya Robb.

Begitupun aku,
Dengan cara sederhana aku selalu menyelipkan surat kecil di tempat yang gampang ditemukannya dengan ucapan-ucapan singkat, "Sayang, jangan lupa sholat,” atau “Sayang, sudah makan?”
Ketika kulihat dia kurang enak badan maka dengan kasih aku menyelipkan kertas kecil bertuliskan "Sayang, obatnya di minum ya, aku ingin melihat senyum mesramu setiba di rumah nanti," kertas itu aku selipkan dalam plastik kecil berisikan pil untuk diminum suamiku sehabis makan siang.
Banyak lagi cara kami berdua untuk saling menjaga kasih sayang, perhatian dan saling percaya dalam rumah tangga.
Sering aku merasa tak tega melihat kelelahannya yang tak bisa disembunyikannya dari wajah teduhnya ketika terlelap. Keletihannya membayang di wajahnya ketika tidur. Alam yang Sarjana memulai pekerjaan sebagai wartawan lepas di surat kabar ibukota. Mengejar berita demi berita dan aku tau itu membuatnya sangat lelah. Itu pula yang terkadang membuat aku tak tega untuk menambah beban Alam dengan masalah yang aku hadapi dengan kehamilanku.

Semua berawal dari kecerobohanku yang selalu terburu-buru ingin secepatnya menyelesaikan semua pekerjaan.
Pagi itu selesai sholat Duha aku membersihkan rumah dan memasak. Selesai memasak langsung mencuci sedikit pakaian yang telah dua hari menumpuk. Rutinitas yang tak pernah bisa kutinggalkan. Ketika mengangkat keranjang yang penuh pakaian basah, entah karena lelah atau kehamilan yang telah memasuki bulan ke enam. Aku merasa sangat lemah dan tak mampu mengangkatnya. Berulang kali kumencoba tetap saja tidak berhasil.
“Ya Allah mengapa keranjang ini terasa sangat berat,” bisik hatiku. Masih tidak mau menyerah dengan sekuat tenaga aku mengangkatnya tanpa membaca Basmallah. Tidak seperti biasa yg selalu kulakukan ketika memulai suatu pekerjaan. Adalah pesan Ayahku sejak kecil, "Anakku, jangan pernah lupa kau membaca Bismillah tiap kali memulai sesuatu. Insya Allah kau akan terlindungi karena Allah hadir dan selalu membantu dan melindungimu."
Dalam kepayahan aku berhasil mengangkat keranjang berat itu, kemudian dengan tertatih-tatih melangkah menginjak buih sabun di lantai yang lupa kubersihkan.
Allahu Akbar,
Aku terpeleset dan keranjang terpental. Semua menjadi gelap, aku pingsan. Entah berapa menit kemudian aku baru siuman masih di tempat yang sama. Dengan sisa tenaga dan menahan rasa nyeri di punggung dan perut aku merangkak memungut pakaian yang berserakan. Dengan terseok masuk rumah kubaringkan tubuh setelah berganti pakaian. Kuoleskan kayu putih untuk menghangatkan tubuh dan perutku lalu kupaksa istirahat.
Aku merasa pasti ada masalah dengan kandunganku. Takut terjadi apa-apa dengan bayiku aku terpaksa menceritakan kejadian itu kepada Alam.
Kaget bercampur sedih dia bergegas membawaku ke Puskesmas untuk diperiksa.
Sejurus kemudian aku lihat bidan memanggil Alam dan kulihat mereka sedang berbicara serius tanpa aku mampu mendengar hasil percakapan tersebut.
Perasaan mulai tak enak karena merasa Alam sedang menyembunyikan sesuatu.
Astagfirullah, kutepis pikiran buruk itu dan mencoba menyerahkan semua ke tangan Allah.
Lamunanku buyar dengan pelukan Alam untuk mengajakku pulang.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam membisu. Setiba di rumah aku tak mampu lagi menahan rasa ingin tahu, “Sayang, Bu bidan bilang apa?”
Hanya senyuman teduh dan bisikan halus yg kudapat dari Alam, "Maafkan aku Hon, Aku tak mampu membahagiakanmu. Kau terlalu lelah dan harus banyak istirahat demi kesehatanmu dan bayi kita”
Aku terdiam lalu berbisik, "Sayang, semua ini salahku, maafkan aku karena tak bisa menjaga bayi kita dengan baik. Aku ibu yang jahat, menyakitinya karena mementingkan diri sendiri," jawabku sambil menangis.
Alam meletakkan telunjuknya ke bibirku lalu berkata, "Sttt Hon, mulai sekarang jangan lakukan apapun, semua pekerjaan rumah biar aku yang mengerjakannya. Honey istirahat saja dan tidak boleh membantah. Berjanjilah untuk menjadi istri dan ibu yang baik dengan mendengar perintah suami,” sambil tersenyum Alam mengecup keningku.

Sejak kejadian itu, Alam membuktikan ucapannya. Sebelum subuh Alam bangun lebih dulu, Memasak air untuk wudhu. Setelah mendidih dibangunkannya aku untuk sholat subuh. Tak jarang aku bermanja dan pura-pura terlalu letih untuk bangun hanya untuk merasakan kasih suami. Jika sudah begitu dengan penuh kasih Alam akan menggendongku ke kamar mandi untuk berwudhu. Kemesraan yang selalu ingin aku miliki.

Usai sholat kami tutup dengan doa, memohon agar kebahagiaan ini lengkap dengan mendapatkan ridhaNYA untuk bisa berkumpul lagi dengan semua keluarga. Doa yang senantiasa kami panjatkan bersama tetes air mata penyesalan atas aib masa lalu yang membuat kami terpisah dari mereka.
Dalam doa dan tangis selalu kuingat
Hadist yang di riwayatkan Aisyah r.a.
bertanya Aisyah kepada Rasulullah SAW, sang suami :
"Adakah di antara pengikut-pengikutmu yang akan masuk surga tanpa hisab?"
"Ya," jawab Nabi, "Dia adalah orang yang banyak menangis karena menyesali dosa-dosa yang telah ia lakukan."
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda,
"Ada dua jenis tetesan yang sangat disukai oleh Allah, tetesan airmata karena takut kepadaNya dan tetesan darah karena berjuang di jalanNya”

Dengan kalimat itu aku percaya bahwa doa yang sungguh-sungguh dengan penyesalan atas semua kesalahan, taubat nasuha maka Allah akan mengabulkan tiap dosa hamba-Nya, Insya Allah.
Alhamdulillah rupanya doaku terjawab.
Saat kehamilanku memasuki usia ke tujuh, aku dikagetkan oleh kepulangan Alam yang didampingi kedua orang tuaku dan kedua mertuaku. Dengan menangis terisak-isak aku berhambur ke pelukan Ibu dan Ayah. Sambil bercucur air mata memohon ampun karena telah menyakiti mereka. Dengan penuh haru memohon maaf kepada kedua mertua,
karena aku telah membuat anak mereka durhaka. Pintu maaf dan luapan kasih sayang mereka sungguh menyejukkan kehidupan kami yang telah berbulan-bulan gersang.
Kedamaian dan ketenteraman kehidupan kami ternyata membuat mereka lega dan ikut berbahagia.

Kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika tiba-tiba ada rasa nyeri yang luar biasa terasa menusuk-nusuk kandunganku. Mataku kabur, setengah sadar aku mengatakan dengan lirih kalimat yang tak kupahami benar kepada Alam sebelum aku terkulai lemas dan tak sadarkan diri, "Sayang apakah ini saatnya?"
Saat siuman aku telah berada di ruang bersalin dengan nafas tersengal, sakit yang menusuk-nusuk perut, membuat aku tak bisa menahan air mata.
Dokter dan perawat sibuk memeriksa alat yang akan mereka pasang ke tubuhku demi menyelamatkan aku dan bayi yang harus lahir sebelum waktunya.
Kedua orang tuaku membacakan surat Yassin sementara Suamiku dengan penuh kasih tak henti-hentinya berbisik lembut, "Hon, bidadari hatiku, tabahkan ya sayang. Istghfar. Kamu harus kuat dan sembuh demi aku dan bayi kita”
Aku hanya sedih, entah mengapa aku merasa akan pergi jauh meninggalkan Alam dan semua keluarga yang kukasihi ini. Dengan berbisik lemah aku menjawab, "Sayang, Pangeranku. Aku merasa perpisahan ini sudah semakin dekat. Cerita cinta ini akan berakhir di liang lahat. Esok kau akan melihat bidadarimu diarak dengan pakaian putih bagai pengantin cantik dalam keranda dingin. Cinta yang kau serahkan membuat aku ingin hidup selamanya. Kesedihan menjadi sirna karena kasihmu. Andai aku bisa memilih aku tak ingin semua ini berakhir. Tapi apakah kita mampu melawan kehendakNYA? Sayang jika sekarang sudah waktuku. Relakanlah kepergianku dengan alunan ayat-ayat sucimu. Katakan kepada Allah Pemilik liang lahat, untuk menyambut kembali isterimu dengan penuh kasih yang meninggalkan kekasihnya karena takdir kematian,"

Dengan keikhlasanmu akan mengantarkan ruhku dengan tenang dan tentram, menuju perjumpaan dengan Allah. Kepastian indah akhir dari tiap kehidupan.
Aku tau sayang,
perpisahan ini akan menyakitimu.
Lalu aku akan berganti
dengan selimut sepi.
Tapi mampukah kita melawan kehendakNya yang memang telah ditentukan?
Percayalah kasih, aku akan tetap berbekal cinta menantimu di surga kebahagiaan.
Allah akan selalu bersamamu hingga perjumpaan kita kelak.”

Alam, Ibu, Ayah dan kedua mertuaku menangis tersedu tak mampu lagi melihat penderitaanku.
Perlahan Alam membelai rambutku lalu berbisik sendu,
“Pergilah, bidadari hatiku. Ikhlasku menyertai jalanmu.
Demi Allah aku tak akan berhenti membaca Al-Quran. Berdoa untuk ketenteramanmu di alam barzah. Aku titip malaikat kecilku. Tunggulah aku di surga nanti.”
Perlahan dengan senyum sangat bahagia aku mengikuti bisikan lirih Alam di telinga,

"Asyhaduanlaa'ilaha'­illallah
Wasyhaduannamuhammad­arrasulullah."


Dari Ummu Salamah, ia berkata,
aku mendengar Rasulullah SAW bersabda ;
"Jika ada seorang istri meninggal dunia dalam keadaan ridho suami, niscaya ia masuk surga ".
(HR. Tirmidzi dan Ibn Majah)

Hidup,rejeki,jodoh ,dan maut adalah rahasia Allah, pergunakanlah waktu dengan sebaik-baiknya sebelum waktu itu akan berhenti dan kita hanya terdiam karena penyesalan yang terlambat.
Tak ada kata terlambat untuk memulai suatu perbuatan baik.

YS/091212
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar